Januari 2012. Masa-masa penantin itu semestinya tiba diakhir-akhir bulan ini, sedangkan sekarang tahun baru saja berganti. Hati gundah gulana dalam penantian panjang 8 bulan yang telah dilalui. Maklum, ini pengalaman pertama kami menanti kehadiran buah hati. Susah, senang, galau, bercampur menjadi satu layaknya gado-gado yang bercampur berbagai rempah. Setiap hari menjelang masa-masa itu, kami mepersiapkan segala kebutuhan dengan segala keterbatasan yang ada. Anak pertama biasanya masih serba baru, mulai dari popok, selimut, dan kebutuhan lainnya.
Minggu pertama januari telah berlalu, tanda-tanda akan kelahiran si buah hati belum saja muncul. Tak apalah, toh prekiraannya masih di akhir bulan ataupun jika meleset bisa saja di awal bulan Februari. kapanpun itu kami tak masalah, yang penting ibu dan anak dapat terlahir dengan selamat, sehat tak kurang sesuatu apapun.
Sekarang sudah tanggal 11 Januari 2012, Setiap hari dipagi hari aku menemani istri berolahraga dengan berjalan kaki menyusuri pinggiran sungai di tempat kami tinggal lalu mendaki ke atas badan jembatan yang lumayan tinggi kemudian beriringan menuju pasar melepas lelah disebuah kedai kopi sambil menikmati goreng pisang yang masih hangat karna baru saja digoreng. Kata orang-orang tua kami, aktifitas seperti ini sangat dianjurkan bagi ibu hamil mendekati masa-masa kelahiran agar mudah pada saat melahirkan.
11, 12,13,14 Januari berlalu, aktifitas dipagi hari tetap saja seperti kemarin-kemarin dan kemudian masing-masing kami melanjutkan aktifitas keseharian sebagaimana biasanya. Semua biasa saja, tak ada yang berbeda sampai pagi tanggal 15 Januari 2012. Kebetulan, hari ini aku mengajak istriku berlajan lebih jauh dari biasanya. Kami berkeliling kota perlahan-lahan dan berakhir di kedai kopi biasanya, lagi-lagi dengan goreng pisang yang sama. Setelah melepas lelah, kami melanjutkan berjalan kaki pulang kerumah. Sesampai dirumah, semua tampak biasa saja, istriku menjemur pakaian yang sudah sebelumnya dicuci, sedangkan diluar terlihat abang dari istriku yang tertua sedang mencuci mobil mertuaku. Setelah selesai menjemut pakaian, ia masuk kedalam rumah.
Disinilah awal dari segala kegundahan itu. Tiba-tiba istriku mengeluh padaku, ia mengatakan sepertinya ada seperti cairan yang mengalir jatuh kekakinya. Aku yang sama sekali tidak berpengalaman dan tak berpengetahuan tentang hal-hal kewanitaan apalagi kehamilan, mulai bingung mencari apa masalahnya. Kebetulan adikku yang nomor dua seorang bidan, aku memutuskan untuk menghubungi adikku itu. Kusampaikan ceritanya padanya dengan terbata-bata.
"ja, kak nida ada cairan keluar katanya, kekmana tu?" ucapku, diujung telpon adikku balik bertanya
"kekmana cairannya bang?", jantungku sudah tidak karuan, ku tanya pada istriku lalu
"katanya benig, agak kental" jawab ku, dengan sigap adikku menjawab
"ketuban tu, cepat abang bawa ke praktik bidan kalau telat bisa bahaya" kata adikku.
Semakin kacau pikiranku. Kuminta istriku berkemas dan menyampaikan perkara itu ke orang tuanya. Lalu kami pergegas menuju praktik bidan.
Sesampainya di praktik bidan, istriku langsung diperiksa oleh bidan. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh bidan pada istriku
"Perut mules?" tanya bidan
"nggak" jawab istriku
"ada tanda-tanda lainnya,misalnya seperti tertekan dibawah perut?" tanya bidan
"nggak" jawab istriku ringkas
Bidan pun membuat kesimpulan, yang kesimpulannnya membuat aku semakin tidak tenang.
"Ketubannya sudah pecah, airnya terus mengalir keluar sedangkan ibunya tidak ada tanda-tanda akan melahirkan, saya minta maaf, saya tidak dapat menangani dengan kasus yang begini. Segera bawa ke dokter spesialis kebidanan, kemungkinan disana nanti akan dirangsang jika ingin melahirkan secara normal" penjelasan singkat sang bidan, bukan membuat tenang tapi rasaya masalah ini semakin tak berujung.
Tak menunggu lama. Aku bawa istriku dan bayi yang dikandungnya menuju praktik dokter spesialis.
Sesampainya disana, dengan sigap aku papah istriku menuju ruang tunggu dan kutanyakan keberadaan dokter kepada resepsionis disana. Kamipun dipersilahkan masuk keruang periksa, namun pemeriksaan belum bisa dilakukan karena listrik padam. Hufff, semakin panjang kegundahan hati ini berharap cemas tak berkesudahan.
Satu jam kemudian listrikpun menyala, dokter mulai memerikan dengan menggunakan USG, apalah kepanjangannya aku tak tahu, yang jelas alat itu digunakan dokter untuk melihat kondisi janin didalam rahim. Lalu dokter memintaku duduk dihadapannya dan menjelaskan kondisi istriku. Katanya bayi sejauh ini masih baik-baik saja, namun air ketubannya sudah mulai berkurang. dia bertanya padaku :
"Ibunya apa mau melahirkan secara normal?" tanya dokter, istriku yang terbaring di tempat tidur menjawab dengan cepat " iya dok, saya mau melahirkan normal".
"baik kalau begitu, apapun keputusan tetap ada resikonya", dokter melanjutkan "Sekarang saya kasi obat untuk merangsang proses kelahirannya, tapi kalau sampai besok pagi tidak lahir maka terpaksa dilakukan operasi cecar" kata dokter.
Aku menelan ludah yang sedari tadi tak sempat ku buang didalam mulut. "operasi" kata-kata ini terdengar asing dan menakutkan bagiku, apalagi bagi istriku. Air matanya menetes, dengan suaranya yang mulai serak dia berbisik
"adek mau melahirkan normal, adek gak mau operasi" kata istriku padaku. Apa yang harus ku jawab, aku bingung, aku takut, aku hanya berusaha untuk kuat sedangkan batinku remuk. Ah, coba kukuatkan diriku, ku tatap matanya dalam-dalam sambil menganggukkan kepalaku ku katakan padanya "InsyaAllah, jangan sedih Allah bersama kita" diapun tersenyum, ini setidaknya menenangkan batinku.
Proses yang seharunya telah dijalankan oleh dokter, aturannya istriku tak boleh banyak bergerak agar prosesnya berjalan dengan baik. Disamping itu, keluarga terdekat kami mulai berdatangan. Ibu dan ayah mertua, ibu dan ayahku, abang ipar, dan lain sebagainya mendatangi praktek dokter ini untuk memberikan semangat kepada istriku. Sedangkan aku, aku duduk disebuah mushalla kecil yang ada disudut praktek dokter itu. Kudirikan shalat sunat, ku buka Al Quran, ku baca surat-surat yang jarang kubaca sebelumnya. Mulai dari maryam, sampai surat yusuf habis kubaca berulang. Sesekali kubaringkan badanku disajadah, benar-benar penantian yang panjang gumamku. Tak sadar ternyata ibuku masuk menemuiku sambil berkata
"Tunggu apalagi, gak kasihan lihat istrimu itu, minta operasi aja biar gak lama, kasian dia!"
Hufff, padahal tadinya aku mulai tenang, mendengan kalimat dari ibu, hatiku mulai bergemuruh kembali.
"Tak apa, kita tunggu aja dulu" jawabku pelan, sembari berharap ibu tidak tersinggung dengan sikapku.
Untuk kembali meyakinkan diriku kudatangi istriku yang sedang berbaring belum boleh bergerak. kutanyakan padanya
"masih sanggup nunggu?" tanya ku
"insyaAllah" katanya
Baiklah, jika dia sanggup menunggu apalagi aku kataku.
Hari menjelang sore, hampir seluruh keluarga mulai tak sabar menunggu. Maklum, sedari kedatangan mereka tak ada tanda-tanda bahwa istriku akan melahirkan. Ah, semua sudah mulai tidak tenang, apalagi aku.
Ba'da magrib, secercah cahaya itu datang. Istriku mulai merasa sakit diperutnya meskipun tidak seberapa, ku panggili perawat yang piket untuk memeriksa. Ya, baru mulai katanya, sepertnya masih lama.
Huff, kuhela nafas panjang..
Satu persatu keluarga mulai meminta ijin pulang, ada yang anaknya tinggal, ada urusan keluarga dan lain-lain. Sekarang tinggal kami berempat, Istriku, aku, ibuku, dan ibu mertuaku. Pukul sepuluh malam, istriku mulai sering mengeluhkan sakit, berulang kali perawat memeriksanya dan katanya ada perkembangan yang baik. Sampai akhirnya pukul 23 malam dokter meminta perawat membawa istriku keruang persalinan.
Mulai dari situ, aku tak bisa bergerak kemana-mana, istriku meronta-ronta menahan sakit yang sepertinya luar biasa, memang aku tak dapat merasakan secara langsug, namun genggaman tanggannya dipergelangan tangganku cukup membuktikan bahwa dia sedang sangat kesakitan. Bagaimana tidak, aku saja sakit apalagi dia.
Waktu terus berlalu, sudah lewat tengah malam bayi yang kami tunggu juga belum ada tanda-tanda kelahiran. Sampai jam 2 pagi barulah dokter masuk keruang persalinan, sepertinya kepala bayi sudah mulai terasa ketika diraba dokter. Istriku terus berjuang untuk melahirkan anak pertama kami, dengan nafah yang mulai melemah, dengan sisa sisa kekuatannya dia berusaha keras agar bayinya terlahir normal.
Sampai pada akhirnya, tepatnya pukul berapa aku tidak tahu, yang jelas menjelang pagi, keyakinan bahwa Allah bersama dengan kami ternyata terbukti. Tak sampai pagi hari, Alhadulillahirabbil'alamin anak pertama kami terlahir normal. Dia laki-laki, tampan, guratan wajah tampak jelas dia kuat berjuang sehingga arti ujung nama yang kami berikan padanya adalah yag kuat berusaha..
Mulai dari situ, aku tak bisa bergerak kemana-mana, istriku meronta-ronta menahan sakit yang sepertinya luar biasa, memang aku tak dapat merasakan secara langsug, namun genggaman tanggannya dipergelangan tangganku cukup membuktikan bahwa dia sedang sangat kesakitan. Bagaimana tidak, aku saja sakit apalagi dia.
Waktu terus berlalu, sudah lewat tengah malam bayi yang kami tunggu juga belum ada tanda-tanda kelahiran. Sampai jam 2 pagi barulah dokter masuk keruang persalinan, sepertinya kepala bayi sudah mulai terasa ketika diraba dokter. Istriku terus berjuang untuk melahirkan anak pertama kami, dengan nafah yang mulai melemah, dengan sisa sisa kekuatannya dia berusaha keras agar bayinya terlahir normal.
Sampai pada akhirnya, tepatnya pukul berapa aku tidak tahu, yang jelas menjelang pagi, keyakinan bahwa Allah bersama dengan kami ternyata terbukti. Tak sampai pagi hari, Alhadulillahirabbil'alamin anak pertama kami terlahir normal. Dia laki-laki, tampan, guratan wajah tampak jelas dia kuat berjuang sehingga arti ujung nama yang kami berikan padanya adalah yag kuat berusaha..
Tak terhingga rasa bahagia ini, Allah SWT memberikan anugrah yang luarbiasa kepada kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar