PT atau kepanjangannya Presidential Threshold merupakan salah satu instrumen yang menjadi tolok ukur satu atau sekelompok partai dalam mengajukan dukungan terhadap calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Kompas.com pada judul berita "Presidential Threshold: Pengertian dan Sejarahnya dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia" mengutip beberapa pengertian dari PT tersebut.
Gotfridus Goris Seran dalam bukunya "Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain", menyebutkan, presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Artinya, presidential threshold menjadi syarat bagi seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden di pemilihan umum (pemilu). (kompas.com)
Mengapa PT itu penting dalam sebuah negara demokrasi ?
Fitri dan Setiadi (2022) pada tulisannya yang berjudul "Presidential Threshold dalam Pemilihan Umum Serentak:
Kemunduran Demokrasi Konstitusional?" yang dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia (Vol 19: No 1) menyatakan bahwa Penerapan presidential threshold memiliki
tujuan untuk menciptakan sistem Presidensial yang kuat dengan terbentuknya hubungan antara Presiden
sebagai eksekutif dengan anggota DPR untuk memperoleh suara mayoritas yang mendukung Presiden
sehingga dalam tubuh pemerintahan tidak terlalu banyak partai politik yang menimbulkan fragmentasi
beragam.
Pendapat mereka tersebut dapat dipahami sebagai jawaban bahwa PT itu penting bagi kewibawaan pemerintahan yang akan terbentuk dari hasil pemilihan langsung.
Bisa dibayangkan jika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tidak memerlukan syarat pada proses pengusungan bakal calonnya. Disatu sisi, memang memberi peluang pada semua anak bangsa untuk mencalonkan diri. Namun, disisi lain juga akan menimbulkan efek yang tak diduga akibat bola liar pencalonan yang tidak berbatas.
Di Indonesia ambang batas pencalonan kepala negara dan wakil telah dipakai sebanyak 4 kali pemilihan umum yaitu sejak Pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019. Untuk Pemilu 2004, 2009, dan 2014 mungkin pendapat Fitri dan Setiadi (2022) dapat dipakai. Hal ini dikarenakan, Pemilihan Presiden dilaksanakan setelah Pemilihan Legislatif, yang artinya besarnya dukungan Partai Politik Pemenang Pemilu pada bulan sebelumnya menunjukkan legitimasi terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk Pilpres 2019 dan 2020 sebenarnya pendapat Fitri dan Setiadi (2022) kemungkinan patut dikaji kembali. Hal ini dikarenakan Pemilihan Legistalitf dan Pemilihan Presiden dilaksanakan bersamaan. Artinya ambang batas PT tidak lagi relevan dengan tingkat legitimasi dukungan Parpol terhadap setiap pasangan calon.